Malam itu saya sudah di
ruang tunggu bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Siap berangkat ke Amsterdam,
Belanda. Tas sudah masuk bagasi. Saya cek lagi paspor untuk melihat dokumen
imigrasi. Semua beres. Saya pun siap-siap sebentar lagi boarding. Istri saya
sudah di Eropa tiga hari lebih dulu. Mendampingi anak sulung saya yang menjabat
Dirut Jawa Pos, yang menerima penghargaan dari persatuan koran sedunia. Jawa
Pos terpilih sebagai koran terbaik dunia tahun ini.
Saya pun
kirim BBM kepada direksi PLN untuk memberitahu saat boarding sudah dekat.
"Kapan pulangnya, Pak Dis?," tanya seorang direktur. "Tanggal 21
Oktober. Setelah kabinet baru diumumkan," jawab saya.
"Ooh,
ini kepergian untuk nge-lesi ya," guraunya.
Pertama, mayoritas orang PLN adalah orang yang otaknya encer. Problem-problem sulit cepat mereka pecahkan. Sejak dari konsep, roadmap sampai aplikasi teknisnya.
Kedua,
latar belakang pendidikan orang PLN umumnya teknologi sehingga sudah terbiasa
untuk berpikir logis.
Ketiga,
gelombang internal yang menghendaki agar PLN menjadi perusahaan yang baik/maju
ternyata sangat-sangat besar.
Keempat,
intervensi dari luar yang biasanya merusak sangat minimal.
Kelima,
iklim yang diciptakan oleh Menneg BUMN Bapak Mustafa Abubakar sangat kondusif
yang memungkinkan lahirnya inisiatif-inisiatif besar dari korporasi.
Lima faktor itu yang membuat saya hidup bahagia di PLN. Dengan modal lima hal itu pula komitmen apa pun untuk menyelesaikan persoalan rakyat di bidang kelistrikan bisa cepat terwujud. Itulah sebabnya saya berani membayangkan, akhir tahun 2012 adalah saat yang sangat mengesankan bagi PLN. Pada hari itu nanti, energy mix sudah sangat baik. Berarti penghematan bisa mencapai angka triliunan. Jumlah mati lampu sudah mencapai standar internasional untuk negara sekelas Indonesia. Penggunaan meter prabayar sudah menjadi yang terbesar di dunia. Ratio elektrifikasi sudah di atas 75%. Propinsi-propinsi yang selama ini dihina dengan cap "ayam mati di lumbung" sudah terbebas dari ejekan itu.
Sumsel,
Riau, Kalsel, Kaltim, Kalteng yang selama ini menjadi simbol "ayam mati di
lumbung energi" sudah surplus listriknya.
Pada akhir
tahun 2012 itu nanti, tepat tiga tahun saya di PLN, saatnya saya mengambil
keputusan untuk kepentingan diri saya sendiri: berhenti! Saya ingin kembali
jadi orang bebas. Tidak ada kebahagiaan melebihi kebahagiaan orang bebas.
Apalagi orang bebas yang sehat, punya istri, punya anak, punya cucu dan he he
punya uang! Bisa ke mana pun mau pergi dan bisa mendapatkan apa pun yang dimau.
Saya tahu masa jabatan saya memang lima tahun, tapi saya sudah sepakat dengan
istri untuk hanya tiga tahun. Niat seperti itu sudah sering saya kemukakan
kepada sesama direksi. Terutama di bulan-bulan pertama dulu. Tapi mereka
melarang saya menyampaikannya secara terbuka. Khawatir menganggu kestabilan
internal PLN. Mengapa? "Takut sejak jauh-jauh hari sudah banyak yang
memasang strategi mengincar kursi Dirut, ujarnya. "Bukan strategi
memajukan PLN," tambahnya. "Lebih baik, selama tiga tahun itu kita
menyusun perkuatan internal agar sewaktu-waktu Pak Dis meninggalkan PLN kultur
internal kita sudah baik," katanya pula.
Saya
setuju untuk menyimpan "dendam tiga tahun" itu.
Organisasi
sebesar PLN memang tidak boleh sering goncang. Terlalu besar muatannya. Kalau
kendaraannya terguncang-guncang terus bisa mabuk penumpangnya. Kalau 50.000
orang karyawan PLN mabuk semua, muntahannya akan menenggelamkan perusahaan.
Sepeninggal
saya ini pun tidak boleh ada guncangan. Saya akan mengusulkan ke Menteri BUMN
yang baru untuk memilih salah satu dari direksi yang ada sekarang, yang
terbukti sangat mampu memajukan PLN. Kalau di antara direksi sendiri ada yang
ternyata berebut, saya akan usulkan untuk diberhentikan sekalian. Tapi tidak
mungkin direksi yang ada sekarang punya sifat seperti itu.
Saya sudah
menyelaminya selama hampir dua tahun. Saya merasakan tim direksi PLN ini
benar-benar satu-hati, satu-rasa, dan satu-tekad. Ini sudah dibuktikan ketika
PLN menerima tekanan intervensi yang luar biasa besar, direksi sangat kompak
menepisnya.
Kekompakan
seperti itu yang juga membuat saya semakin bergairah untuk bekerja keras
mempercepat transformasi PLN. Saya menyadari waktu tidak banyak. Keinginan
untuk bisa segera menjadi orang bebas tidak boleh menyisakan agenda yang
menyulitkan masa depan PLN. Itulah sebabnya motto PLN yang lama yang berbunyi
"listrik untuk kehidupan yang lebih baik", kita ganti untuk sementara
dengan motto yang lebih sederhana tapi nyata: Kerja! Kerja! Kerja!
Tanggal 27
Oktober 2011 nanti, bertepatan dengan Hari Listrik Nasional, motto baru itu
akan digemakan ke seluruh Indonesia. Kerja! Kerja! Kerja! Sebenarnya ada satu
kalimat yang saya usulkan sebelum kata kerja! kerja! kerja! itu. Lengkapnya
begini: Jauhi politik! Kerja! Kerja! Kerja!
Tapi
teman-teman PLN menyarankan kalimat awal itu dihapus saja agar tidak
menimbulkan komplikasi politik. Tentu saya setuju. Saya tahu, berniat menjauhi
politik pun bisa kena masalah politik!
Sudah lama
saya ingin naik business class yang baru dari Garuda Indonesia. Kesempatan ke
Eropa ini saya pergunakan dengan baik. Toh bayar dengan uang pribadi. Saya
dengar business classnya Garuda sekarang tidak kalah mewah dengan penerbangan
terkenal lainnya.
Saya ingin
merasakannya. Saya ingin membandingkannya. Kebetulan saat umroh Lebaran lalu
saya sempat naik business class pesawat terbaru Emirat A380 yang ada bar-nya
itu. Sejak awal, sejak sebelum menjabat CEO PLN, saya memang mengagumi
transformasi yang dilakukan Garuda. Saya dengar di Singapura pun kini Garuda
sudah mendarat di terminal tiga. Lambang presitise dan keunggulan. Tidak lagi
mendarat di terminal 1 yang sering menimbulkan ejekan "ini kan pesawat
Indonesia, taruh saja di terminal 1 yang paling lama itu!".
Beberapa
menit lagi saya akan merasakan untuk pertama kali business class jarak jauh Garuda
yang baru. Saya seperti tidak sabar menunggu boarding. Di saat seperti itulah
tiba-tiba.... "Ini ada tilpon untuk Pak Dahlan," ujar keluarga saya
yang akan sama-sama ke Eropa sambil menyodorkan HP-nya.
Telpon pun
saya terima. Saya tercenung. "Tidak boleh berangkat! Ini perintah
Presiden!" bunyi telpon itu.
"Wah,
saya kena cekal," kata saya dalam hati.
Mendapat
perintah untuk membatalkan terbang ke Eropa, pikiran saya langsung terbang ke
mana-mana. Ke Wamena yang listriknya harus cukup dan 100% harus dari tenaga air
tahun depan. Ke Buol yang baru saya putuskan segera bangun PLTGB (pembangkit
listrik tenaga gas batubara) agar dalam 8 bulan sudah menghasilkan listrik. Ke
PLTU Amurang yang tidak selesai-selesai. Ke Flores yang membuat saya bersumpah
untuk menyelesaikan PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) Ulumbu sebelum
Natal ini. Saya tahu teman-teman di Ulumbu bekerja amat keras agar sumpah itu
tidak menimbulkan kutukan. Pikiran saya juga terbang Lombok yang kelistrikannya
selalu mengganggu pikiran saya. Sampai-sampai mendadak saya putuskan harus ada
mini LNG di Lombok dalam waktu cepat. Ini saya simpulkan setelah kembali
meninjau Lombok malam-malam minggu lalu. Saya tidak yakin PLTU di sana bisa
menyelesaikan masalah Lombok dengan tuntas. Pikiran saya terbang ke Bali
membayangkan transmisi Bali Crossing yang akan menjadi tower tertinggi di
dunia. Ke Banten selatan dan Jabar selatan yang tegangan listriknya begitu
rendah seperti takut menyetrum Nyi Roro Kidul.
Meski masih tercenung di ruang tunggu Garuda, pikiran saya juga terbang ke Lampung yang enam bulan lagi akan surplus listrik dengan selesainya PLTU baru dan geothermal Ulubellu. Juga teringat GM Lampung Agung Suteja yang saya beri beban berat untuk menyelesaikan nasib 10.000 petambak udang di Dipasena dalam waktu tiga bulan. Padahal dia baru dapat beban berat menyelesaikan 80.000 warga yang harus secara massal pindah mendadak dari listrik koperasi ke listrik PLN.
Meski masih tercenung di ruang tunggu Garuda, pikiran saya juga terbang ke Lampung yang enam bulan lagi akan surplus listrik dengan selesainya PLTU baru dan geothermal Ulubellu. Juga teringat GM Lampung Agung Suteja yang saya beri beban berat untuk menyelesaikan nasib 10.000 petambak udang di Dipasena dalam waktu tiga bulan. Padahal dia baru dapat beban berat menyelesaikan 80.000 warga yang harus secara massal pindah mendadak dari listrik koperasi ke listrik PLN.
Pikiran
saya juga terbang ke Manna di selatan Bengkulu. Saya kepikir apakah saya masih
boleh datang ke Manna tanggal 30 Desember, seperti yang saya janjikan untuk
bersama-sama rakyat setempat syukuran terselesaikannya masalah listrik yang
rumit di Manna. Saya terpikir Rengat, Tembilahan, Selatpanjang, Siak dan Bagan
Siapi-sapi yang saya programkan tahun depan harus beres.
Saya
teringat Medan dan Tapanuli: alangkah hebatnya kawasan ini kalau listriknya
tercukupi, tapi juga ingat alangkah beratnya persoalan di situ: proyek
Pangkalan Susu yang ruwet, ijin Asahan 3 yang belum keluar, PLTP Sarulla yang
bertele-tele dan bandara Silangit yang belum juga dibesarkan. Pikiran saya
terus melayang ke Jambi yang akan jadi percontohan penyelesaian problem
terpelik system kelistrikan: problem peaker. Di sana lagi dibangun terminal
compressed gas storage (CNG) yang kalau berhasil akan jadi model untuk seluruh
Indonesia. Saya ingin sekali melihatnya mulai beroperasi beberapa bulan lagi.
Masihkah saya boleh menengok bayi Jambi itu nanti?
Juga ingat
Seram di Maluku yang harus segera membangun mini hidro.
Lalu
bagaimana nasib program 100 pulau
harus berlistrik 100% tenaga matahari.
Ingat
Halmahera, Sumba, Timika
Tentu saya
juga ingat Pacitan. PLTU di Pacitan belum menemukan jalan keluar. Yakni bagaimana mengatasi gelombang
dahsyat yang mencapai 8 meter di situ. Ini sangat menyulitkan dalam membangun
breakwater untuk melindungi pelabuhan batubara.
Dan Rabu
23 Oktober lusa saya janji ke Nias. Dan bermalam di situ. Empat bupati di
kepulauan Nias sudah bertekad mendiskusikan bersama bagaimana membangun Nias
dengan lebih dulu mengatasi masalah listriknya.
Yang
paling membuat saya gundah adalah ini: saya melihat dan merasakan betapa
bergairahnya seluruh jajaran PLN saat ini untuk bekerja keras memperbaiki diri.
Saya seperti ingat satu persatu wajah teman-teman PLN di seluruh Indonesia yang
pernah saya datangi.
Dengan
pikiran yang gundah seperti itulah saya berdiri. Mengurus pembatalan terbang ke
Eropa. Menarik kembali bagasi, membatalkan boarding, mengusahakan stempel
imigrasi dan meninggalkan bandara.
Hati saya
malam itu sangat galau. Saya sudah terlanjur jatuh cinta setengah mati kepada
orang yang dulu saya benci: PLN.
Tapi belum
lagi saya bisa merayakan bulan madunya saya harus meninggalkannya.
Inikah
yang disebut kasih tak sampai?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar