Mencoba menelusuri sejarah harian ini memang
mengasyikkan. Kali pertama diterbitkan pada 1 Juli 1949.
Memang, dilihat dari hari lahirnya, Jawa Pos termasuk salah satu surat kabar tertua di Indonesia. Waktu itu namanya Java Post. Lalu pernah juga menjadi DJAWA POST, DJAWA POS, JAWA POS dan kemudian Jawa Pos seperti sekarang.
Riwayat pendiriannya pun sederhana saja. Waktu itu, The Chung Sen, seorang WNI kelahiran Bangka, bekerja di kantor film di Surabaya. Dialah yang bertugas untuk selalu menghubungi surat kabar agar pemuatan iklan filmnya lancar. Dari sini pula The Chung Sen mengetahui bahwa memiliki surat kabar ternyata mengguntungkan. Maka didirikanlah Java Post.
Saat itu, harian ini tentunya juga dikenal sebagai harian Melayu-Tionghoa. Sebab pengelolanya, modalnya dari kalangan itu. Harian ini tentunya bukan satu-satunya harian Melayu-Tionghoa di Surabaya. Yang terbesar saat itu adalah Pewarta Soerabaia Trompet Masyarakat dan Perdamaian.
The Chung Sen tentunya melirik keuntungan yang berhasil diraih oleh harian Pewarta Soerabaia yang sudah berhasil memantapkan diri sebagai koran dagang di Surabaya. Tapi cita-cita dan impiannya itu rasanya tak pernah tercapai. Dalam perjalanan sebagai koran Melayu-Tionghoa yang berhaluan republikein, harian ini tak pernah kondang di kalangan pembacanya, keturunan Tionghoa. Mereka misalnya lebih suka memilih Pewarta Soerabaia yang kiblatnya masih ke arah tanah leluhur mereka. Juga harian Melayu-Tionghoa yang terbit di Jakarta kebanyakan berhaluan yang sama dengan Pewarta Soerabaia. Jadi harian ini kemudian mempunyai ciri yang khas sebagai harian Melayu Tionghoa.
Masalah ini tentunya bukan satu masalah yang kecil. Karena waktu itu, masalah orang Tionghoa atau keturunan Tionghoa belum diatur oleh undang-undang. Masalah mereka baru diatur sekitar tahun enampuluhan. Sehingga memihak kepada Republik dalam situasi masih jauh dari konferensi Meja Bundar tentunya satu gagasan yang menarik buat dikaji. Ini tentunya tak lepas dari wawasan The Chung Sen yang jauh ke depan. Jika hanya untuk memperoleh uang, ia tentunya bisa memerintahkan pemimpin redaksinya untuk juga berorientasi ke tanah leluhur. Tapi itu tak pernah dilakukan. Pemimpin redaksi pertamanya adalah Goh Tjing Hok. Yang kedua yang memangku jabatan itu sejak tahun 1953 adalah Thio Oen Sik. Keduanya memang dikenal sebagai orang-orang republikein yang tak pernah goyah pendiriannya.
Dalam perkembangan selanjutnya The Chung Sen bisa disebut "raja" surat kabar dari Surabaya. Dialah yang di tahun 1950-an memiliki tiga surat kabar sekaligus. Satu berbahasa Indonesia, satu berbahasa Tionghoa dan satu berbahasa Belanda. Yang berbahasa Belanda itu kemudian diubahnya menjadi Indonesian Daily News yang berbahasa Inggris. Sebab ketika Bung Karno gencar-gencarnya anti Belanda, hal-hal yang berbau Belanda diminta diubah. Termasuk koran milik The Chung Sen, Vrije Pers. Sedangkan korannya yang berbahasa Tionghoa mengalami nasib yang sama. Bahkan tidak bisa terbit sama sekali. Maka tinggallah JAWA POS.. Bahkan yang satu inipun kian hari kian redup. Apalagi The Chung Sen harus berpacu dengan usia, dan tiga orang putranya tidak satupun yang tinggal di Indonesia.
Perkembangan teknologi cetak juga kian sulit diikuti. Maka oplag JAWA POS pun terus menurun. Sehingga di tahun 1982 lalu tinggal 6.700 eksemplar setiap hari. Pelanggannya di dalam kota Surabaya tinggal 2000 orang. Peredarannya di Malang tinggal 350 lembar. Saking sedikitnya sampai-sampai kantor pusatnya mengurusi loper sendiri yang jumlahnya cuma 40 orang.
Maka dalam keadaan fisiknya yang kian uzur dan didorong keinginannya untuk bisa dekat dengan anak-anaknya, The Chung Sen memutuskan untuk menyerahkan pengelolaan JAWA POS kepada pengelola majalah mingguan berita TEMPO. Ini terjadi pada 1 April 1982. Saat itu Dahlan Iskan yang kini menjadi direktur, masih bekerja sebagai Kepala Biro TEMPO di Surabaya.
"Pak The (begitu panggilan untuk The Chung Sen) menyatakan tidak mungkin lagi bisa mengembangkan JAWA POS. Tapi Pak The tidak ingin surat kabar yang didirikannya mati begitu saja. Itulah sebabnya JAWA POS diserahkan kepada penggelola yang baru," ujar Dirut PT Grafiti Pers, penerbit TEMPO, Eric Samola, SH yang kini juga jadi Direktur Utama PT Jawa Pos.
Pak The sendiri memilih TEMPO dengan pertimbangan khusus. " TEMPO kan belum punya surat kabar. Kalau saya serahkan kepada rekan yang sudah punya surat kabar, tentu surat kabar saya ini akan dinomorduakan", begitu kata Pak The saat itu. Dengan pertimbangan seperti itu Pak The ingin perkembangan JAWA POS tidak terhambat.
Pak The sendiri dalam usianya yang sudah 89 tahun akhirnya memang berangkat ke Inggris bersama istrinya, Megah Endah, yang berusia 71 tahun. Dia berpesan agar JAWA POS bisa dikembangkan sebagaimana di masa mudanya. Maka pada suatu malam sebelum keberangkatannya ke Inggris sebuah pesta kecil diadakan di halaman rumahnya di Jalan Pregolan. Di situlah diadakan kebulatan tekad. "Kami bertekad merebut kembali sejarah yang pernah dibuat Pak The," begitu kata-kata akhir sambutan Dahlan Iskan yang saat itu ditunjuk untuk memimpin Jawa Pos. ►tsl-indonesiamedia Basuki Sudjatmiko
Memang, dilihat dari hari lahirnya, Jawa Pos termasuk salah satu surat kabar tertua di Indonesia. Waktu itu namanya Java Post. Lalu pernah juga menjadi DJAWA POST, DJAWA POS, JAWA POS dan kemudian Jawa Pos seperti sekarang.
Riwayat pendiriannya pun sederhana saja. Waktu itu, The Chung Sen, seorang WNI kelahiran Bangka, bekerja di kantor film di Surabaya. Dialah yang bertugas untuk selalu menghubungi surat kabar agar pemuatan iklan filmnya lancar. Dari sini pula The Chung Sen mengetahui bahwa memiliki surat kabar ternyata mengguntungkan. Maka didirikanlah Java Post.
Saat itu, harian ini tentunya juga dikenal sebagai harian Melayu-Tionghoa. Sebab pengelolanya, modalnya dari kalangan itu. Harian ini tentunya bukan satu-satunya harian Melayu-Tionghoa di Surabaya. Yang terbesar saat itu adalah Pewarta Soerabaia Trompet Masyarakat dan Perdamaian.
The Chung Sen tentunya melirik keuntungan yang berhasil diraih oleh harian Pewarta Soerabaia yang sudah berhasil memantapkan diri sebagai koran dagang di Surabaya. Tapi cita-cita dan impiannya itu rasanya tak pernah tercapai. Dalam perjalanan sebagai koran Melayu-Tionghoa yang berhaluan republikein, harian ini tak pernah kondang di kalangan pembacanya, keturunan Tionghoa. Mereka misalnya lebih suka memilih Pewarta Soerabaia yang kiblatnya masih ke arah tanah leluhur mereka. Juga harian Melayu-Tionghoa yang terbit di Jakarta kebanyakan berhaluan yang sama dengan Pewarta Soerabaia. Jadi harian ini kemudian mempunyai ciri yang khas sebagai harian Melayu Tionghoa.
Masalah ini tentunya bukan satu masalah yang kecil. Karena waktu itu, masalah orang Tionghoa atau keturunan Tionghoa belum diatur oleh undang-undang. Masalah mereka baru diatur sekitar tahun enampuluhan. Sehingga memihak kepada Republik dalam situasi masih jauh dari konferensi Meja Bundar tentunya satu gagasan yang menarik buat dikaji. Ini tentunya tak lepas dari wawasan The Chung Sen yang jauh ke depan. Jika hanya untuk memperoleh uang, ia tentunya bisa memerintahkan pemimpin redaksinya untuk juga berorientasi ke tanah leluhur. Tapi itu tak pernah dilakukan. Pemimpin redaksi pertamanya adalah Goh Tjing Hok. Yang kedua yang memangku jabatan itu sejak tahun 1953 adalah Thio Oen Sik. Keduanya memang dikenal sebagai orang-orang republikein yang tak pernah goyah pendiriannya.
Dalam perkembangan selanjutnya The Chung Sen bisa disebut "raja" surat kabar dari Surabaya. Dialah yang di tahun 1950-an memiliki tiga surat kabar sekaligus. Satu berbahasa Indonesia, satu berbahasa Tionghoa dan satu berbahasa Belanda. Yang berbahasa Belanda itu kemudian diubahnya menjadi Indonesian Daily News yang berbahasa Inggris. Sebab ketika Bung Karno gencar-gencarnya anti Belanda, hal-hal yang berbau Belanda diminta diubah. Termasuk koran milik The Chung Sen, Vrije Pers. Sedangkan korannya yang berbahasa Tionghoa mengalami nasib yang sama. Bahkan tidak bisa terbit sama sekali. Maka tinggallah JAWA POS.. Bahkan yang satu inipun kian hari kian redup. Apalagi The Chung Sen harus berpacu dengan usia, dan tiga orang putranya tidak satupun yang tinggal di Indonesia.
Perkembangan teknologi cetak juga kian sulit diikuti. Maka oplag JAWA POS pun terus menurun. Sehingga di tahun 1982 lalu tinggal 6.700 eksemplar setiap hari. Pelanggannya di dalam kota Surabaya tinggal 2000 orang. Peredarannya di Malang tinggal 350 lembar. Saking sedikitnya sampai-sampai kantor pusatnya mengurusi loper sendiri yang jumlahnya cuma 40 orang.
Maka dalam keadaan fisiknya yang kian uzur dan didorong keinginannya untuk bisa dekat dengan anak-anaknya, The Chung Sen memutuskan untuk menyerahkan pengelolaan JAWA POS kepada pengelola majalah mingguan berita TEMPO. Ini terjadi pada 1 April 1982. Saat itu Dahlan Iskan yang kini menjadi direktur, masih bekerja sebagai Kepala Biro TEMPO di Surabaya.
"Pak The (begitu panggilan untuk The Chung Sen) menyatakan tidak mungkin lagi bisa mengembangkan JAWA POS. Tapi Pak The tidak ingin surat kabar yang didirikannya mati begitu saja. Itulah sebabnya JAWA POS diserahkan kepada penggelola yang baru," ujar Dirut PT Grafiti Pers, penerbit TEMPO, Eric Samola, SH yang kini juga jadi Direktur Utama PT Jawa Pos.
Pak The sendiri memilih TEMPO dengan pertimbangan khusus. " TEMPO kan belum punya surat kabar. Kalau saya serahkan kepada rekan yang sudah punya surat kabar, tentu surat kabar saya ini akan dinomorduakan", begitu kata Pak The saat itu. Dengan pertimbangan seperti itu Pak The ingin perkembangan JAWA POS tidak terhambat.
Pak The sendiri dalam usianya yang sudah 89 tahun akhirnya memang berangkat ke Inggris bersama istrinya, Megah Endah, yang berusia 71 tahun. Dia berpesan agar JAWA POS bisa dikembangkan sebagaimana di masa mudanya. Maka pada suatu malam sebelum keberangkatannya ke Inggris sebuah pesta kecil diadakan di halaman rumahnya di Jalan Pregolan. Di situlah diadakan kebulatan tekad. "Kami bertekad merebut kembali sejarah yang pernah dibuat Pak The," begitu kata-kata akhir sambutan Dahlan Iskan yang saat itu ditunjuk untuk memimpin Jawa Pos. ►tsl-indonesiamedia Basuki Sudjatmiko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar